what the meaning of love

Hanya Malam Jumat Kliwon
by: R. Panji Bhairawamini teenlit ini telah dipublikasi di Singgalang, edisi Minggu 13 Mei 2007
BULAN tepat menjatuhkan cahayanya pada bidang-bidang di permukaan bumi. Awan malam yang berintegral dengan kerlip bintang semakin mempercantik pemandangan tiap mata yang melihat. Bila sudah seperti ini, pastilah Junet nangkring di beranda atas. Tak banyak yang ia lakukan, selain memandang langit dan menantikan bintang jatuh. Paling-paling jika bete mulai menyerang, ia segera memutar mp3 dari ponselnya sembari mengunyah permen karet yang mungkin udah berhari-hari mangkal di rongga mulutnya. Namun, sejak peristiwa malam minggu yang lalu, Junet tidak lagi berani berlama-lama memanjakan diri di loteng atas. Ia begitu menderita setiap kali mengingat kejadian itu.
"Bukannya keindahan yang gue dapat malah bayangan-bayangan yang gak jelas githu." cerita Junet pada Sulai selepas Jumatan kemarin.
"Wah, itu juga keindahan Net!" respon Sulai dengan senyum joker.
"Keindahan dari mana, dari Hongkong maksud loe?!" gerutu Junet.
"Eh..eh..jangan bawa-bawa Hongkong entar didenger Jet Lie, loe bisa dijadiin bubur lho!"
"Apa Jet Lie? Perasaan gue thu orang udah nyatu dengan tanah deh, dan doski bukan dari Hongkong!"
"Iya,..iya terserah loe dah, gue sebagai orang waras ngalah aja." balas Sulai.
"Eh...eh..,entar terakhir loe bilang apa tadi?"
"Udah gak penting dibahas." Junet dan Sulai adalah dua sahabat yang identik, maksudnya meski keduanya lahir dari perut emak yang berbeda tapi keduanya memiliki potongan wajah dan sifat yang rada-rada mirip. Mereka berdua sering dikira kakak beradik.
"Ih, sorry mayori, gue ngak punya adik sejelek dia." kilah Junet setiap ada orang bertanya tentang kemiripan mereka.
"Eh, siapa lagi yang sudi jadi adik elo, mending gue nyebur di sungai deh." balas Sulai tak mau kalah.
Selidik punya selidik ternyata, mereka berdua memiliki ayah yang sama. "Kok bisa?". Dulu, ayahnya Junet sangat menginginkan punya anak tapi sampai usia perkawinan ayah dan ibunya Junet memasuki tahun ke sepuluh belum juga dikarunia anak. Akhirnya ayahnya meminta izin untuk menikah lagi. Merasa itulah jalan terbaik, Ibunya Junet meridhoi suaminya untuk berpoligami. Nah, menikahlah ayah Junet dengan ibunya Sulai. Eh selang beberapa bulan kemudian, ibunya Junet dan ibunya Sulai hamil.
"Net, entar malam loe nemenin gue jaga rumah ya!" pinta Sulai.
"Ngapain, kayak kurang kerjaan aja."
"Ehm, tolonglah enyak pulang kampung, gue gak ikut, besok ada seminar." pinta Sulai lagi
"Ayolah, gue masih penasaran nih, kemaren kan gue kalah maen ps sama loe."
"Emang gue peduli, he..?" balas Junet sembari tertawa kecil.
"Loe thu ye, sok dibutuhin banget!"
"He...he.."
***
Azan Magrib mulai memanggil para penghuni kampung, beberapa saf di Mushola yang merupakan satu-satunya di pemukiman itu mulai tampak padat dengan jiwa-jiwa yang siap menunaikan ibadah. Sementara itu di sebuah rumah bernomor 88A, nampak pemiliknya sibuk mencari peliharaannya. Dia adalah Sulai, seperti biasa. Saban menjelang matahari ke barat, ia pun mulai memasukkan ayam-bebek dan beberapa angsanya kembali ke kandang.
"Eh,...jangan cuma ngurusin ayam, inget noh udah ada panggilan Magrib!" sapa Junet yang sudah rapi dengan sarung, baju koko dan peci putihnya.
"Iya,..entar lagi kelar, loe duluan deh. Ups,..tapi inget habis Magrib loe temenin gue yah..he..he..!" balas Sulai.
Tanpa menjawab, Junet langsung melenggang menuju mushola kampung.
Malam itu bulan tampak samar-samar, lantaran awan hitam sedikit menodai langit. Semilir angin pelan-pelan datang menusuk pori Sulai dan Junet yang sedang memandang angkasa malam.
"Lai, kalo gak salah ini malam jumat kan?" pancing Junet.
"Maksud loe?"
"Kalo gak salah lagi, menurut kalender jawa. Malam ini jumat kliwon!" lanjut Junet semakin menghangatkan suasana.
"Lalu apa hubungannya?" tanya Sulai sok gak ngerti, padahal jantungnya udah degap-degup.
"Ih, masak sih loe ngak ngerti. Kata mbah Joge--dukun kampung, kalo jumat kliwon biasanya para setan berpesta dan menjelma wujud macem-macem" jelas Junet.
"Ah loe percaya sama omongan dukun, musyrik tau!"
Sesaat kemudian, keduanya terdiam – mata mereka saling menatap satu sama lain. Dinginnya angin malam kembali menusuk jaringan pori keduanya. Malam itu tidak terasa sudah mendekati pukul sebelas malam. Dari beranda lantai 2 88 A, mereka melihat sesosok berwarna putih mulai mendekat. Sosok itu terkadang terlihat dan lenyap begitu saja.
"Lai,..loe lihatkan itu?" kata Junet sembari mengarahkan telunjuknya ke arah jalanan kampung.
"Tuuu...uuuhhh kannn gue bilang apa tadi. Ini malam Jumat Kliwon!" lanjut Junet dengan gemetar.
"Masuk yuk,..!" pinta Junet. Kali ini dia menarik tangan Sulai yang masih asyik menyaksikan pemandangan di depannya.
Lama kelamaan, ditengah kecemasan Junet. Sosok itu mulai menampakkan wujud sebenarnya. Tingginya tidak lebih dari tinggi Uda Jailani pemain volly andalan kampung. Meskipun baru berjarak sepuluh meter bau tubuhnya telah tercium.
"Assalamualaikum,...belum tidur kalian!" sapa sosok putih itu.
"Waalaikumsalam, belum Uda!" balas Sulai.
"Ups..!" Ternyata sosok putih itu adalah Uda Jemain yang baru pulang menghadiri hajatan di kampung sebelah. Uda Jemain memang acap kali diundang pada setiap hajatan kampung. Maklumlah dialah satu-satunya guru ngaji yang pernah mengenyam pendidikan diploma di Kairo. Uda Jemain sangat berbeda dengan kakaknya Jailani. Walaupun di kampung keduanya cukup disegani. Bedanya Uda Jemain dikenal sebagai guru ngaji sedangkan kakaknya selain sebagai pemain volly andalan kampung, ia juga dikenal suka mabuk-mabukan di warung minum ujung kampung.
"Uhs,..Uda Jemain hampir bikin copot jantung, pake baju putih-putih, panjang lagi,..persis,.." cerotos Junet.
"Ups,..!" potong Sulai. Disusul dengan tawa ketiganya. Sementara itu dari balik pohon belakang, sosok dengan mata yang tajam mengamati mereka yang masih tertawa.***
Diposkan oleh prakos

0 Response to "what the meaning of love"